Pict by Kires
Ketika hendak melihat kawan mencuci di sumur bawah pohon
besar di dusun Data terdapat pemandangan yang miris buat kehidupan
modern dan maju saat ini..
Sibuk memotret kawan dan
bercandatawa, muncul anak perempuan berusia tiga belas tahun dengan ember kecil di pinggangnya menggandeng pakaian yang menumpuk, sambil berjalan dari tepian sawah yang terletak tak jauh dari sumur.
Tiap harinya aktivitas setelah pulang
sekolah adalah mencuci pakaian kotor, tidak ada waktu istirahat karena cucian di rumah menumpuk,.
“Siapa namata dek,?”tanyaku
“ Fina kak,”..jawabnya
“ Kenapa kita mencuci? mana mamata?
“Adaji kak”
“Siapa cucian itu?”
“Kakakku sama pakaianku juga”
“Kenapa kita yang cuci?”
“Nda apa2ji kak”
Anak seusianya yang sedang istirahat
siang hari, dia rela meninggalkan waktu luangnya membantu orangtua di rumah. Mencuci
pakaian menjadi kewajibannya tiap hari sebelum beranjak ke mesjid untuk belajar
mengaji dengan teman yang lain. Potret anak perempuan pelosok desa yang
berjuang demi kelangsungan hidup keluarganya.
Hal itu, membuat saya teringat masa
kecil yang pernah mengalami hal serupa.
Penggalan puisi kupersembahkan buat
fina dan masa kecilku..
Banyak
cerita tentang kota yang ia dengar
Cerita
tentang kehidupan kota seperti cerita di negeri dongeng
Semuanya
serba menakjubkan, dan desa hanyalah
Tempat
yang membosankan
Kidung
Senja anak gembala
Bersekolah
dipinggir sawah
Tanpa
mainan game atau handphone
_Beni Guntarman..