Gambar 1. Seorang petani perempuan memanen selada (Foto: Zul Ikram)
Tompobulu, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto, merupakan salah
satu desa penghasil sayur-sayuran di wilayah Sulawesi Selatan. Pertanian dan
peternakan di Tompobulu sangat potensial. Di sepanjang jalan poros Malakaji dan
Loka Bantaeng, tampak warga menggunakan sistem pertanian tumpang sari atau
berbagai jenis tanaman dalam satu lahan, seperti sayur-sayuran, rumput gajah,
dan tanaman tahunan.
Pertanian menjadi potensi utama desa yang berjarak 111 km dari
Makassar, sekaligus sebagai mata pencahariaan warga Tompobulu. Baharuddin yang
ditemui di ladang sawahnya ketika mencangkul lahan untuk tanaman tomat,
mengatakan, awalnya ia petani jagung hingga tahun 2014. Lelaki dari Loka
Bantaeng ini ikut Sabaria, istrinya, ke Rumbia pada tahun 2008.
Pak Bahar mengungkapkan, ia beralih dari bertani jagung ke tomat
karena harganya relatif rendah. Dari tahun ke tahun, harga jagung menurun.
Tahun 2008, jagung berkisar Rp 7000/kg. Delapan tahun kemudian, harganya jatuh
ke Rp 3500 /kg.
Berlatar belakang pendidikan dasar, Pak Bahar mengandalkan
pengalaman dan kebiasaan bertani untuk menghasilkan sayuran yang bernilai
tinggi. Ia banyak bertanya dan berdiskusi dengan petani setempat untuk mulai
mengembangkan tanaman tomat pada 2014 hingga sekarang. Pak Bahar mengembangkan
tomat lantaran pemeliharaannya mudah dan harga konstan.
Tanaman ini bisa dipanen sampai 3 kali dalam setahun. Dengan lahan
seluas 25 are, Pak Bahar bisa menghasilkan Rp 3 juta per panen, berarti ia bisa
berpenghasilan Rp 9 juta setiap tahun. Pendapatan ini masih dikurangi dengan
harga benih seharga Rp 15.000/bungkus; pupuk kandang Rp 15.000 x 20 karung (25
are) = Rp 300.000; dan pupuk NPK Rp 2.000 x 20 liter = Rp 40.000 x 3 kali
aplikasi = Rp 435.000,-
Tabel 1. Pendapatan Bersih Pak
Bahar
Uraian
|
Harga
|
Pemakaian
|
Total
|
Benih
|
Rp 15.000
|
1
|
Rp 15.000
|
Pupuk Kandang
|
Rp 15.000
|
20
|
Rp 300.000
|
NPK
|
Rp 2.000
|
20 x 3 aplikasi
|
Rp 120.000
|
Pengeluaran
|
Rp 435.000
|
||
Panen
|
Rp 3.000.000
|
3/tahun
|
Rp 9.000.000
|
Pendapatan Petani per Tahun
|
Rp 8.565.000
|
Pak Bahar menggunakan sistem pertanian tradisional, yakni
menggunakan cangkul dan alat penyiraman manual menggunakan pipa, dengan sumber
air dari rumah Pak Dusun.
Sebelum menanam, Pak Bahar sekeluarga melakukan barasanji,
ritual pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW dan pembacaan doa, yang ditutup
acara makan bersama. Proses tersebut dulunya biasa dipimpin oleh Deng Lenteng,
salah seorang tokoh adat. Tetapi, semenjak Deng Lenteng meninggal pada tahun
2015, ritual tersebut tidak pernah dilakukan lagi karena tidak ada pelanjut.
Saat ini, Pak Bahar tidak bertanam jagung lagi meskipun terdapat
bantuan bibit dari pemerintah. Selain bertani, ia memiliki ternak sapi sebanyak
lima ekor yang dipelihara sekitar ladang sawahnya. Ternak masih dalam proses
perkembangbiakan dan menjadi investasi keluarga ketika membutuhkan dana
mendadak.
Selain tanaman tomat, beberapa petani Tompobulu mengembangkan
tanaman sayuran seperti labu, seledri dan selada. Salah seorang petani labu
bernama Deng Tompo ketika ditemui di lahannya, sedang menunggu keputusan harga
jual dari pengumpul yang akan membeli tanaman labu siap panen. Nasib Deng Tompo
hampir sama dengan Pak Bahar, tanaman jagung menjadi beban bagi mereka karena
harga jual yang sangat rendah. Sehingga Deng Tompo hanya menanam labu untuk
saat ini.
Bersama Deng Pudding (seorang pengumpul) mengamati satu persatu
labu yang akan dipetik peruntukkan penjualan ke pelanggannya di pasar Takalar
dan Terong Makassar. Saat ini, pengumpul membeli seharga Rp 4500 perbiji untuk
ukuran besar. Pengumpul membeli hasil panen per biji, sehingga Deng Pudding
memilah labu yang akan dibelinya karena ketika labu sudah dikirim ke Makassar,
harganya tidak menentu. Pengumpul membawa hasil panen dengan skala kecil
berkisar 30 buah karena ketika terlalu banyak, pembeli di pasar memasang harga
semaunya saja. Sehingga, Deng Pudding hanya membawa hasil panen sesuai
permintaan dan peluang yang ada di kota.
Terkadang, pedagarang di pasar memainkan harga ketika labu didistribusi
dari mobil ke pasar. Pada saat pengumpul menjual harga Rp 4500, tiba di pasar
harganya terkadang tidak menentu. Hal ini yang membuat pengumpul harus berfikir
cerdas mensiasati masalah tersebut, kata Deng Pudding.
Deng Tompo bertanam labu varietas super setelah ia menanam jagung
manis. Waktu penanaman jagung manis pada bulan November, dan dipanen pada bulan
Januari. Sedangkan penanaman labu dimulai pada bulan April dan panen pada saat
berumur empat bulan. Deng Tompo membeli benih labu kuning hibrida di pasar
Ramba’ sebanyak enam bungkus dengan harga Rp 60.000,00 per bungkus.
Sebelum ditanam, benih terlebih dahulu diperam selama empat hari,
kemudian disemai pada polibag selama dua minggu. Setelah tanaman tumbuh dengan
baik maka tanaman yang sehat dipindahkan ke kebun yang sudah disiapkan tanpa
olah tanah (TOT), perlakuan yang dilakukan hanya dengan membuat lubang tanam
sekira 15 cm.
Jarak tanam tanaman labu super 3 m x 3 m, alasan
mengapa Deng Tompo memakai jarak tanam ini karena mempertimbangkan luasan
daerah rambatan panjang sulur tanaman labu super. Jenis pupuk yang digunakan
Deng Tompo adalah pupuk organik kotoran kuda, pemberian pada lubang tanam
dengan dosis tiga genggam/lubang tanam. Pemberian pupuk dilakukan sebelum
penanaman anakan labu kuning. Pupuk anorganik yang digunakan adalah pupuk NPK
sebanyak dua zak dengan aplikasi pada umur labu dua MST, 30 MST dan 45 MST.
Untuk menyiangi lahannya, Ia menggunakan sabit.
Deng Pudding menuturkan, agar tanaman labu bisa bertahan lama
selama pengiriman, labu dipetik dengan meninggalkan tangkainya sekira 10 cm.
Selain itu, Labu dapat bertahan selama satu bulan setelah panen. Ketika labu
diangkut, posisinya tidak terbalik karena jantung labu terdapat didekat
tangkai. Jika demikian, labu cepat membusuk dan perlahan mengeluarkan getah
melalui tangkai. Penempatan labu diangkutan menentukan kualitas penyimpanan.
Deng Tompo pemilik tanaman labu hanya diam dan mendengarkan keluh
kesah pengumpul. Bahkan dia tidak mempermasalahkan harga labu yang diberikan,
intinya hasil tanaman bermanfaat bagi orang lain. Filosofinya, walaupun harga
jual murah kebutuhan hidupnya bisa terpenuhi dari hasil keringatnya sendiri.
Sikap empati yang besar ditampakkan kepada pengumpul dan tidak mempermasalahkan
harga tanaman labunya. Bahkan, jika tidak terdapat pengumpul yang membeli hasil
panennya, ia memberikannya ke warga sekitar lahan. Dia masih mempercayai,
pemberian itu balasannya lebih besar dari Karaeng Ta’ala (Allah
swt).
Selain tanaman labu, salah seorang petani bernama Deng Udin
memiliki lahan seluas tiga are untuk tanaman seledri. Siklus pertanaman seledri
pada bulan Agustus dan Desember. Seledri dapat dipanen dengan umur tiga bulan
lamanya. Sebelum disemai pada bedengan, benih direndam dengan air hangat selama
dua jam, lalu dikeringkan. Kemudian ditabur pada bedengan yang telah disiapkan
dan disiram pada permukaan bedengan hingga lembab.
Deng Udin mengolah lahannya menggunakan cangkul untuk membuat
bedengan dengan ukuran yang tidak menentu, ia hanya mengikuti kontur lahan.
Ketika seledri berumur satu bulan dengan daun 3-4 helai, bibit siap dipindahkan
ke bedengan dengan jarak tanam 15 cm x 15 cm. Jika sebagian tanaman mati,
maka dilakukan penyulaman 7-15 hari setelah tanam. Seledri yang berumur enam
hari diberi pupuk kandang yang berasal dari kotoran kuda dengan cara ditaburkan
pada bedengan diantara sela-sela tanaman seledri. Proses pemupukan dilakukannya
bersama istri dan tiga orang anaknya. Setelah dipupuk, tanaman disiram
dengan mengunakan springkel dengan air berasal dari gunung terdekat.
Bersama dengan istrinya bernama bu Ani, Deng Udin memupuk tanaman
seledri menggunakan pupuk kandang yang berasal dari kotoran kuda. Pupuk dibeli
seharga Rp 10.000,- per karung dar kandang ternak warga. Terkadang, anaknya
berjumlah tiga orang menemaninya untuk menyelesaikan pemupukan. Dengan
mengandalkan tangannya, bu Ani menyebar pupuk kandang yang masih basah disetiap
sela tanaman seledri. Menurutnya, pupuk kandang dari kotoran kuda lebih tahan
lama dibanding kotoran sapi sehingga setiap bertanam seledri hanya menggunakan
kotoran tersebut sambil diselingi dengan pupuk kotoran ayam setelah
pengaplikasian selama satu bulan.
Bu Ani memutuskan untuk membantu suaminya bertani setiap hari
karena dengan tanggung jawab untuk membiayai anak semakin meningkat seperti
biaya sekolah, sembako dan sarana pendukung pertanian (pupuk dan benih) maka dengan
hanya mengandalkan suami untuk bekerja tidak akan mencukupi keluarga.
Kesehariannya lebih banyak mengurus kebutuhan makanan keluarga dan bertani di
lahan. Komunikasi dengan tetangga dan keluarga yang lain tidak begitu intens
karena dari pagi hingga sore hari setelah mengurusi tanggung jawab dengan
anaknya, ia menghabiskan waktu bertani di lahannya.
Sambil memupuk, bu Ani menceritakan mengenai kondisi sosial
dirinya yang berprofesi sebagai petani perempuan. Ia tidak bergabung dengan
kelompok perempuan yang ada di desa, karena perkumpulan yang dibentuk untuk
pengajian hanya diperuntukkan bagi kalangan menengah atas seperti para guru,
istri pejabat, dan pedagang. Untuk ia yang berprofesi sebagai istri petani
tidak pernah diperhitungkan. Hal ini membuat dirinya tidak pernah
bersosialisasi dan bergabung ketika terdapat kegiatan arisan ataupun pengajian
antar perempuan.
Setiap hari, anak lelakinya yang berumur sepuluh tahun ikut
membantu memupuk dan menyiram tanaman sedangkan dua orang anak perempuannya menetap
dirumah ketika pulang dari sekolah. Walaupun sesekali, ketika membutuhkan
tenaga di lahan ia mengajak anaknya untuk membantu dan itu pun tidak
memaksanya.
Perempuan di Tompobulu saat ini sudah mulai diperhitungkan dalam
hal bertani, apalagi ketika suaminya berprofesi sebagai seorang petani.
Beberapa perempuan mengikuti suami untuk mencari nafkah. Seperti Bu Halia
seorang petani selada, ditemui ketika sedang memanen seladanya yang akan
dikirim ke Makassar.
Sejak tahun 2012, bu Halia bertanam selada hingga saat ini, ia pun
mengalami kerugian saat bertanam jagung, sehingga saat anaknya merantau ke
Makassar dan kebutuhan selada meningkat, ia memutuskan untuk beralih bertanam
selada. Menurutnya, membudidayakan tanaman selada tidak begitu sulit. Dengan
bibit yang berasal dari selada yang telah berbunga dan berumur empat bulan siap
panen, tanaman yang akan dijadikan bibit disisihkan hingga satu bulan lamanya.
Bibit disemai, lalu dipindahkan ke bedengan ukuran 6 m x 1 m
dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm. Jumlah bedengan yang dimiliki sebanyak 112
bedengan. Proses pemupukan dilakukan hanya sekali selama masa tanam yaitu pada
usia tujuh hari. Penyiraman tidak dilakukan sesering mungkin. Panen selada
tidak dilakukan serentak (tergantung permintaan dari pasar). Hasil panen
tanaman selada di kirim ke makassar untuk dijual ke Pasar Kalimbu
(dekat Pasar Terong). Anak Bu Halia lah yang menjemput barang tersebut lalu
disebarkan ke beberapa hotel yang ada di Makassar. Pengantaran pun dilakukan
melalui mobil angkutan penumpang Jeneponto menuju Kota Makassar. Biaya sewa
mobil dalam satu kali pengiriman seharga Rp. 15.000.
Saat musim hujan, tanaman selada dijual seharga Rp 25.000 per
kilo. Panen dan penjualannya tidak menentu, tergantung permintaan anaknya yang
di Makassar. Hanya dengan tiga bedengan, dapat menghasilkan 25 kg.
TAHUN
|
HARGA/KG
|
2013
|
65.000
|
2014
|
65.000
|
2015
|
50.000
|
2016
|
25.000
|
Tabel 2. Harga selada di musim kemarau
Berbeda lagi pada saat musim hujan, harga selada dapat mencapai Rp
65.000 – Rp 100.000 /Kg tiap tahunnya. Selama budidaya selada, Bu Halia hanya
sekali membeli bibit seladanya. Selanjutnya, ia melakukan pembibitan sendiri.
Setiap daerah memiliki karakter dan keunikan tersendiri, seperti
Tompobulu ini termasuk wilayah Kabupaten Jeneponto. Daerah yang mempunyai
kebiasaan mengkonsumsi kuda sudah dikenal sejak terdahulu. Daerah Jeneponto
dengan julukan pakanre jarang (pemakan kuda) sudah dibudayakan
oleh nenek moyang. Menurut Deng Tompo (petani labu), masyarakat yang memiliki
kuda hanya berasal dari keluarga bangsawan. Selain menjadi alat transportasi,
kuda mencerminkan empat sifat manusia yaitu memiliki rambut, berkeringat, bekerja
dan menangis ketika disembelih. Hal ini membuat, kuda menjadi simbol
kebangsawanan Jeneponto. Masyarakat yang ingin memiliki kuda harus dilantik
oleh para bangsawan lain. Hal itupun, mengikut pada proses pelantikan karaeng (Bangsawan).
Di Jeneponto, bangsawan disebut karaeng. Hanya
masyarakat tertentu yang bisa mendapat gelar tersebut dengan melalui proses
pelantikan. Syarat menjadi karaeng adalah berani,
berpengalaman dan berkuasa. Selain itu, karaeng
juga adalah seorang penguasa. Konon, kenapa para karaeng yang
ada di jeneponto mempunyai banyak tanah karena ketika mereka mengelilingi
daerah, dimanapun kudanya berhenti maka daerah tersebut menjadi status
pemilikannya. Masyarakat pun tidak berani untuk menentang karena melihat peran
kuasa karaeng sangat besar, tetapi sejak Soeharto menjadi
presiden beberapa tindakan penguasa yang tidak merakyat mulai bergeser. Karaeng tidak
dilantik ketika kekuasaannya tidak diakui dan didengar oleh masyarakat. Dan karaeng yang
terkenal dari dulu hingga sekarang adalah Karaeng Petana (Kr. Cambang). Sejak
dulu sangat berpengaruh di beberapa wilayah di Jeneponto, seperti di desa
Tompobulu ini.
Selain itu, Budaya makan kuda pun semakin bergeser, masyarakat
mempercayai bahwa nganre jarang bajik, tapi punna nibokoi anggappa pahala (makan
kuda bisa saja, tetapi ketika ditinggalkan mendapat pahala). Menurut Deng
Tompo, Nabi Muhammad terdahulu mengendarai kuda saat perang sehingga kuda
dijadikan sebagai sahabatnya disetiap pertempuran. Masyarakat menyakini bahwa
budaya makan kuda dilakukan oleh kalangan tertentu, tergantung kepercayaan
orang terdahulu.
Sumber:
_Hasil Penelitian disusun kelompok 1 oleh Asrianto, Nurhaeni, Zul Ikram dan Kiki pada pelatihan baseline di Kampung Bambu Lembah Hijau Rumbia Desa Tompubulu, Kec Kelara Kab. Jeneponto pada tanggal 7-13 Agustus 2016 diadakan oleh Comdev Yayasan Kalla.
_Dibimbing oleh K'Jimpe dan K'Bram dari Tanah Indie.
Gambar 2. Deng Udin sekeluarga memupuk seledri (Foto: Kiki)
Gambar 3. Deng Tompo mengamati labu siap panen (Foto:Nurhaeni)
Gambar 3. Pak Bahar mencangkul lahannya. .(Foto: Kiki)
Gambar 4. Fasilitator menyisir desa Tompobulu (Foto: Kiki)
Gambar 5. Bu Ani memanen selada (Foto:Zul Ikram)
Gambar 6. Deng Udin mengangkat karung yang berisi pupuk kandang (Foto: Nurhaeni)
0 komentar