Petani perempuan sedang memisahkan daging buah dari tempurung kelapa
Pict by Kiki
Nama saya Kiki. Saya
berasal dari salah satu pelosok desa di daerah Jeneponto. Memiliki kesempatan
belajar di kota Makassar dan sekarang kembali ke desa mengabdi dan belajar
bersama petani. Guru kami mengatakan “desa menjadi sekolah kami sesungguhnya” entah
maksud pernyataannya seperti apa, tetapi kalian perlu tahu bahwa saya adalah
seorang PEREMPUAN.
Hari ini tepat tanggal
21 April 2016 peringatan ‘Hari Kartini’, biasanya para perempuan di seluruh
belahan daerah di Indonesia memperingatinya sebagai bentuk penghargaan kepada sosok
pahlawan perempuan yang mengangkat derajat perempuan di Indonesia pada
masanya. Ada yang memperingati dengan
lomba fashion ala Kartini, perlombaan bakat para perempuan, dan kali ini saya
bergabung dengan para perempuan yang mengaku “Perempuan Lisan untuk Kartini” mencoba
menulis tentang riwayat kartini (perempuan) saat ini. Tapi, dengan kondisi saat
ini berada di pelosok desa, saya akan bercerita bagaimana jejak Kartini (Perempuan)
di desa dampingan saya.
Saya memulai dari
statement bapak Ir. Soekarno yang mengatakan bahwa petani adalah penyokong
tatanan negara Indonesia. Tapi menurut saya yang menjadi penyokong negara
adalah PEREMPUAN. Perempuan adalah seorang yang empu(bisa), perempuan adalah
tiang negara, dan perempuan adalah wajah masa depan suatu negara. Itu yang saya
dapatkan dibangku kajian selama kuliah. Tetapi saat ini dengan lingkungan yang
berbeda mencoba memahami bahwa perempuan desalah yang tidak terlepas dari kata pertanian, yang
banyak berperan penting dalam pembangunan pertanian Indonesia saat ini.
Luas daerah dampingan
saya saat ini 5,08 km² dengan jumlah penduduk 1,490 jiwa. Laki-laki berjumlah
759 jiwa dan perempuan 749 jiwa. Mayoritas mata pencaharian sebagai petani dan
peternak. Dan bagaimana nasib 749 perempuan di desa yang hanya bergantung pada
hasil bumi?.
Kartini yang membawa
misi mengangkat derajat perempuan hingga saat ini yang banyak kalangan mengenal
kesetaraan gender, tidak berlaku di desa kami. Sistem patriarki, perempuan
sebagai inferior, di kota hampir tidak berlaku lagi tetapi di desa mereka masih
menganut sistem tersebut dan menganggap itu sebagai bentuk kemuliaan seorang
perempuan. Kalau memang benar, mengapa perempuan desa masih terbelakang secara
pengetahuan dan informasi?
Aktivitas perempuan
hanya sebatas mengurus anak, pengendali asupan makanan setiap hari dan bertani.
Kegiatan lain paling nongkrong berjam-jam sambil menunggu suami. Bahkan ada
juga yang nongkrong bareng suami pengangguran. Belum lagi tayangan televisi membuat para ibu-ibu menunggu di depan tv sambil berceloteh dan mengomentari perilaku idola mereka. Bahkan salahsatu ibu yang saya
dapatkan rela meninggalkan kursus menjahit dan memilih standby depan tv
menyaksikan sinetron yang marak diperbincangkan semua kalangan di desa saat ini. Saya pun hampir ketularan, jadinya mencoba asyik
melihat raut wajah mereka yang serius menyaksikan layar tv.
Lagi, pernikahan dini
menjadi angka kasus tertinggi di desa kami dan korbannya adalah perempuan yang
masih berumur belasan tahun. Tak hanya itu, walaupun angka perempuan yang
menjadi buruh dan meninggalkan desa untuk menjadi tenaga kerja sedikit tetapi
secara pengetahuan mereka paling miskin. Dan menurut perempuan metropolitan
yang sering berkoar tentang kesetaraan itu menghina kaum perempuan.
Pict by Abdul Hakim
Masa depan anak
perempuan bergantung pada orangtua yang mampu menyekolahkan anaknya atau tidak,
ada yang terkendala dari faktor ekonomi ada juga karena faktor kemalasan dan menganggap
ujung-ujungnya perempuan di dapur saja. Jadinya anak perempuan tinggal
menunggu pernikahan.
Malang juga nasib
penerus kartini ini,..dan ini data awal saya selama pendampingan.
Awalnya saya menganggap
hal itu benar dan sepakat bahwa perempuan di desa terbelakang dan miskin
pengetahuan. Kurang bergaul dan tidak memiliki kreativitas. Tetapi pandangan
tentang perempuan di desa dengan tinggal bersama mereka dan merasakan kehidupan
selama berhari-hari membuat saya sadar bahwa perempuan desalah yang berperan
penting dalam mengatur perut manusia di seluruh dunia.
Menciptakan
keharmonisan rumah tangga, menggandeng tangan anak beranjak ke sekolah, berangkat
ke kebun bersama sang suami, istirahat dan kembali ke rumah menjadi aktivitas
yang wajib bagi seorang perempuan dan menurut saya dari sinilah perempuan menemukan
dirinya dan mengangkat kemuliaannya disisi Allah swt.
Bahkan saya kagum
dengan perempuan-peremupan lansia yang sudah berumur puluhan tahun masih kuat
dan masih tetap bertani. Mereka malah berfikiran kalau tidak bertani malah badan
terasa pegal dan sakit. Yah, hukum alam tetap berlaku. Alam akan memberikan
kehidupan bagi manusia yang merawatnya dan itu dibuktikan oleh para perempuan
petua ini.
Hingga saat ini, saya
berfikiran kitalah para perempuan masa kini yang menganggap kartini (perempuan)
di desa terbelakang dan miskin. Padahal mereka tidak miskin secara uang,
kebunnya banyak, hasil panen cengkeh ada, padi berkarung-karung dan ternak sapi
menumpuk. Hanya saja mereka masih tetap butuh pendampingan untuk menambah
pengetahuan dan membangun kreativitas agar kegiatannya lebih produktif. Begitupun
untuk anak-anak perempuan di desa.
Setiap manusia memiliki perspektif tersendiri tentang konsep kesetaraaan. Kesetaraan yang hakiki dan tidak terlepas dari budaya adalah mendidik anak untuk mencipta generasi bangsa dan agama. Peran perempuan untuk mengabdi kepada sang suami untuk mengangkat derajatnya di hadapan Allah swt. Secara tidak sadar peran ini yang diterapkan perempuan desa saat ini. Dan menurut para kartini (perempuan) ini, pekerjaan yang mulia dengan tidak meninggalkan tanggungjawab dalam keluarga adalah bertani.
Walaupun anak-anak di
desa hanya mengenal kartini lewat gambar pahlawan yang tertempel di dinding
kelas yang mulai usang. Tetapi mereka memberi salam dan
ucapan:
“Selamat hari kartini,
semoga kami menjadi kartini (perempuan) yang cerdas”
Dan dari saya, Selamat
buat para pejuang perempuan yang rela memilih keluar rumah meninggalkan keluarga
dan mengabdi untuk kesejahteraan ummat.