Picture of ilustration
“Tanah Luwu merupakan jantung Sulawesi
Selatan, Jika ingin mengembangkannya manfaatkan potensi budaya yang
melimpah utamanya komoditi sagu.” kata Prof. Osozawa dalam kegiatan
Internasional Sago Symposium.
Kabupaten Luwu
merupakan salah satu kabupaten tertua di Sulawesi Selatan. Menurut sejarah
peradaban manusia dalam kitab I Laga Ligo,
manusia pertama turun dari langit berada di Tanah Luwu. Hal ini, menjadikan
kabupaten Luwu banyak dilirik oleh para peneliti dan sejarawan.
Kabupaten Luwu
sebagai penghasil tanaman sagu terbesar di Sulawesi Selatan. Bahkan, menurut
Bupati Luwu, A. Mudzakkar, M.H., sagu merupakan jati diri masyarakat Luwu dan
menjadi simbol perekat antar warga bahkan sejak 500 tahun lalu. Sagu menjadi
keunikan tersendiri di Tanah Luwu. Hanya saja melihat pengembangannya saat ini
sagu memiliki hambatan dalam proses budidayanya. Nilai ekonomi yang rendah dibanding
tanaman lain seperti cengkeh dan kakao membuat masyarakat berfikir untuk
mengembangkannya. Adanya program pemerintah tentang raskin menjadikan
masyarakat beralih mengonsumsi beras, kurangnya daya tarik investor, kurang
modal dan yang paling penting adalah beralih fungsinya lahan menjadi perumahan
dan pengembangan tanaman pertanian lainnya.
Bupati Luwu Timur
Ir. M. Thoriq Husler mengatakan bahwa awalnya tanaman sagu ditanam sengaja oleh
masyarakat di sekitar pedesaan tetapi tidak melakukan pemangkasan dan
pemeliharaan sehingga sagu menjadi sama dengan sagu liar. Jelas bahwa tanaman
yang dibudidayakan memiliki kualitas produksi yang lebih bagus dibanding
tanaman liar.
Menurut Prof. Katsuya
Osozawa, peneliti dari Ehime University, letak geografis Kabupaten Luwu menjadi
jantung peradaban Sulsel. Jadi, ketika Kabupaten Luwu tidak mampu dikembangkan
maka Sulsel akan kehilangan identitasnya.
Sejak tahun 1983
Prof. Osozawa mengabdikan dirinya untuk meneliti tanaman sagu yang terdapat di
Luwu. Keunikan dan kandungan gizi pangan yang dimiliki sagu membuat dia
tertarik untuk meneliti dan mengembangkannya. Tanaman sagu kaya dengan
karbohidrat (pati), juga mengandung protein, serat, kalsium, besi dan lemak
dalam jumlah sedikit. Dia menganggap bahwa tanaman sagu mampu menjadi sumber
pangan alternatif ketika terjadi krisis pangan khususnya di Indonesia. Dari
hasil penelitiannya selama ini, dia menganggap bahwa tanaman sagu sangat sulit
dikembangkan karena sturktur pohon sagu besar membuatnya kewalahan untuk
melakukan pengembangan, diperlukan tim untuk itu.
Selain itu,
tanaman sagu tidak mampu mendunia dan dijadikan budaya masyarakat Sulsel ketika
hanya sebatas komunitas saja. Maka, harus ada dukungan dari pihak pemegang
kekuasaan agar tanaman sagu dapat diakui oleh masyarakat dunia. Membangun
sinergitas antara pemerintah pusat, peneliti, kampus, dan masyarakat akan
menciptakan suatu warisan lokal yang terkenal. Selain untuk mendorong
kelestarian budaya, tanaman sagu juga berfungsi sebagai mitigasi bencana agar
masyarakat bisa hidup selaras dengan hutan.
Ehime University
bekerjasama dengan tim peneliti sagu Unhas dan JICA (Japan Internasional Cooperation Agency) menggelar Internasional Sago Symposium untuk
menjalankan program Techno Park Sago
di Sulsel. Kegiatan ini dilaksanakan di
Hotel Aryaduta Makassar, tanggal 23 Juli 2016 yang dihadiri oleh Bappeda,
lembaga peneliti, pemerhati sagu dan mahasiswa. Pertemuan ini menjadi wadah bagi
tokoh penting di Kabupaten Luwu untuk mendiskusikan aspek ekologis dan
keuntungan tanaman sagu sebagai upaya mengembalikan budaya masyarakat Tanah Luwu.
Kegiatan
Symposium sebelumnya, yang digelar di Kota Palopo menghasilkan keputusan bahwa empat
kabupaten bersedia mengikuti program tersebut dan menyediakan lahan untuk
persiapan pengembangan sagu. Empat kabupaten akan menjadi pusat Techno Park Sago yakni Kabupaten Luwu seluas dua ha di sembilan kecamatan menjadi pusat
untuk industri. Kota Palopo seluas sepuluh ha sebagai pusat informasi dan
budaya. Kabupaten Luwu Utara seluas dua ratus ha sebagai pusat penelitian dan
pengembangan sagu. Kabupaten Luwu Timur seluas dua ratus ha sebagai Pusat Biodiversitas.
Techno Park Sago menciptakan ruang
untuk pengembangan sagu dan hasil produk sagu untuk perencanaan lima tahun
kedepan.
Dalam pemaparan rencana
dan konsep Techno Park Sago, Prof. Osozawa
dalam bahasa Jepang dengan penerjemah Prof. Agnes (Peneliti dari Unhas),
menyampaikan bahwa saat ini tanaman sagu yang berada di Kabupaten Luwu berasal
dari Maluku merupakan screening bibit
unggul dan satu komoditi terbaik. Oleh Karena itu, langkah awal yang telah
berjalan selama satu tahun ini adalah penyediaan lahan dan pembibitan sagu. Dengan
target, menjadikan Techno Park Sago
Sulsel nomor satu se-Asia Tenggara melampaui Malaysia dan Singapura.
Untuk sekarang
ini, setiap kabupaten yang terlibat akan melakukan langkah praktis. Dalam
pengembangan sagu seperti di Kota Palopo dibuat rancangan PerDa perlindungan
sagu agar tidak diekploitasi. Kabupaten Luwu telah menciptakan produk hasil
olahan tanaman sagu berbasis industri rumah tangga. Luwu Timur membentuk GEMAS
(Gerakan Menanam Sagu). Sedangkan Luwu Utara dalam RPJMD untuk pelestarian Sagu.
"Tanaman sagu belum banyak dilirik oleh
masyarakat yang seharusnya dapat menjadi komoditi mahal, khususnya untuk
pengolahan hasil produk sagu. Tanaman sagu adalah emas putih dari
Tanah Luwu, untuk prospek kedepannya bisa mengangkat budaya lokal Indonesia." kata Dr. Muhammad Dimyati Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan.
Harapannya,
pengembangan Techno Park Sago selain
menjadi sumber pangan, pakan dan industri juga mampu mengembalikan dan
melestarikan warisan budaya lokal di Sulawesi Selatan.