Sumber Gambar: www.elysiumhouse.com
“Ayah, saya ingin meneruskan pendidikan di sekolah yang baru di Madiun”. Ayahnya menjawab dengan keras: “Anak bodoh! kembali ke sekolah dasar”.
Pramoedya Ananta Toer dikenal sebagai seorang tokoh sastrawan terbesar di
Indonesia. Tak sedikit yang mengenalnya. Ia
lahir pada tanggal 6 Februari 1925 di daerah Blora yang terletak di Jawa
Tengah. Ayahnya bernama Mastoer Imam Badjoeri yang bekerja sebagai seorang guru
di sebuah sekolah swasta dan ibunya bernama Saidah bekerja sebagai penjual nasi.
Semua itu berawal dari rumah. Sejak kecil, Pram menderita
perasaan rendah diri. Hal Ini disebabkan karena, pengaruh dalam rumah sendiri
bahkan di luar rumah. Dalam rumah, Ayahnya sangat tegas persoalan pendidikan. Selamanya,
pram harus menjadi bintang kelas di Sekolah Institue budi utomo, masa itu. Tetapi,
ketika anak lain menyelesaikan pendidikan selama 7 tahun, pram menamatkannya
hingga 10 tahun. Terhitung, pram tiga kali tidak naik kelas.
Kejadian ini membuat ayahnya sangat kecewa. Kekecewaan itu
berlanjut, karena keseharian Pram banyak dihabiskan dengan anak-anak buruh tani
di sekitar rumahnya. Disitu, Pram merasa dirinya se-derajat. Perasaan minder inilah yang ia temukan pada diri anak buruh tani.
Sikap minder melekat dalam diri Pram, saat ia memiliki
gagasan, ia tidak berani menyatakan pendapat di luar teman-temannya yang buruh
tani atau tani kecil. Karena tidak berani mengatakan pendapat itu, akhirnya ia menuliskannya.
Berhasil lulus sekolah dasar, pram merasa berhak melanjutkan
sekolah. Dan ia berkata:
“Ayah, saya ingin meneruskan pendidikan di sekolah yang baru di
Madiun”
Ayahnya menjawab dengan keras: “Anak bodoh! kembali ke
sekolah dasar”
Sejak saat itu, ketika tahun pengajaran baru dimulai, pram
kembali ke sekolah yang telah ia tamatkan. Gurunya yang bernama Menir Amir,
khusus datang kepadanya dan bertanya:
“Kenapa kau kembali kemari? kau kan sudah tamat disini ?" (tanyanya dalam Bahasa Belanda).
Tanpa bicara apa-apa, pram mengambil semua kertasnya, membawa
dan meninggalkan kelas tanpa sepatah kata pun. Ia pulang.
Dalam perjalanannya, Pram melewati sebuah kuburan. Langkahnya
terhenti. Lalu, ia menaruh semua kertas-kertasnya dan memegang pohon jarak
kuat-kuat sambil menjerit. Ia meluapkan segala emosi dalam kesendiriannya.
Pram merasa seorang diri. Ia selalu merasakannya setiap hari,
tapi waktu itu ia sangat merasa sendiri. Tidak ada tangan yang diulurkan kepadanya. Ada satu masa, ketika pram kehilangan harapan dan dunianya
tiba-tiba gelap waktu itu.
Tetapi, apa yang Pram kenang tentang ibunya, wanita yang ia
puja selama ini ?
Ibunya, seorang wanita yang penuh kasih yang mengajarkan
kebebasan kepadanya. Ketika ia berumur 17 tahun, ibunya sakit keras. Tidak ada
obat, tidak ada yang memberi makan satu keluarganya. Pram sendiri yang
mengusahakannya untuk bisa makan dan mengurus ibunya yang sakit keras, hingga ibunya
meninggal dunia.
Waktu itu, Pram tahu bahwa tak seorang pun yang membantunya,
semuanya dikerjakan sendiri sampai pemakaman ibunya. Seorang anak umur 17
tahun, juga harus mengasuh adik sebanyak 7 orang. Disitu, ia terus teringat
dengan pesan ibunya: “Jangan minta-minta pada siapa pun”. Dan ia
melaksanakannya.
Pram merasa begitu banyak orang yang dibantu oleh keluarganya,
tetapi kala itu, ia mengantar ibunya ke peristirahatan terakhir, tak
seorang pun yang membantu. Karena itu, terhadap ibunya sampai sekarang, pram
merasa telah mengurusnya dengan sebaik anak umur 17 yang dapat dilakukan.
Ibunya meninggal dengan umur muda, sekisar 34 tahun lamanya. Namun,
apa yang diberikan kepada pram tetap hidup bahkan memancar dalam tulisan-tulisannya.
Untuk itu, ia berterima kasih kepadanya, atas kasih dan perjuangan yang dititipkan
untuknya.
Sumber tulisan: Biografi dari Pramoedya Ananta Toer, dalam film dokumenter https://www.youtube.com/watch?v=DR7wi-4Yclg
Sumber tulisan: Biografi dari Pramoedya Ananta Toer, dalam film dokumenter https://www.youtube.com/watch?v=DR7wi-4Yclg