Anak Yang Pemalu

Di sela-sela saya dan kak andi menyelesaikan tugas pendampingan, muncul beberapa anak perempuan dengan sikap malu mampir didepan rumah, karena pintu terbuka lebar kak andi memanggil anak-anak dengan bahasa bugis. Masih dengan wajah lugu dan pemalu perlahan mereka mendekat di teras rumah, kami masih di ruang tamu mengajak mereka masuk bergabung, belajar bersama tapi mereka masih malu dan saling menertawakan. Anak perempuan ini yang saya temui di mesjid kemarin namanya febi, mia, fia dan tari. Dengan tingkah lucu mereka mulai bergabung dengan kami. Umurnya sekitar 9-10 tahun, saya suka melihat mereka karena pakaian yang sopan dengan kerudung di kepalanya saya kira mereka seperti ini setiap harinya ternyata tidak, cukup bulan ramadhan saja tapi itu awal yang bagus belajar mulai dari sekarang.

Kami mulai akrab, sambil saya menyelesaikan sisanya mereka antusias bertanya dan tak berhenti memperhatikan gerakan kami.
“kak kiki, apa kita kerja itu?”tanya febi
“main-main kertas ndik..”sahutku
Mereka saling mengejek dan tertawa,..
Kak andi mulai bertanya mengenai aktivitas mereka setiap hari mulai dari bangun pagi hingga tidur di malam hari, kami tak punya niat apa-apa untuk bertanya seperti itu hanya saja ingin tahu kapan aktivitas mereka luang ketika kami membuat kegiatan mengajar diluar sekolah. Masih dengan tingkah malu lagi,.
“jam berapaki biasa bangun pagi?”tanya kak andi
“jam 6 kak”jawab mia
“tidak sholat subuhki?”tanysaya lagi.
“oh iyee.. sholat subuhki dulu baru tidur lagi,.”sahut mia sambil tertawa..

Mereka kembali bercanda dan tertawa bersama, tawa yang lepas dan berbincang dengan santai membangun keakraban siang ini. Ceritanya, mereka jarang tidur siang jadi kalau pulang sekolah, mengaji habis itu bermain hingga sore. Waktu belajar cuma di sekolah, selepas itu tak ada lagi. Padahal pendidikan yang mereka dapatkan di sekolah tidak terlalu banyak bahkan tidak ada, kata salahsatu guru di sekolah mereka, pendidikan sekarang sangat beda dengan dulu, anak-anak sangat kurang mendapatkan pelajaran karena gurunya sibuk mengerjakan administrasi bahkan kalau tidak ada RPP para guru tak ada yang mengajar. Guru masa bodoh dengan itu, anak-anak pun tak ada yang serius belajar.  Bahkan perilsaya pun sangat kurang mereka dapatkan di sekolah. Pendidikan menjadi formalitas saja, tidak menjadi prioritas.

Saya mulai memikirkan metode seperti apa yang layak buat mereka agar pendidikan tidak lagi jadi alat yang hanya membuat mereka terbebani, tapi pendidikan membuat mereka bebas berfikir dan membumi agar mudah dipahami dan terimplementasikan di perilsaya mereka masing-masing.

Karena pekerjaanku hampir selesai, tanpa pamit mereka saling berlomba keluar rumah dan menaiki sepeda dan mengendarainya dengan tiga orang berboncengan. Sambil bernyanyi menuju arah mesjid.

“kamu tukang ojek, tolong anterin kami....” bernyanyi sambil mengayun sepedanya. 

                                       Bersama putri dan tari anak desa Abbumpungeng.

You Might Also Like

0 komentar